Tampilkan postingan dengan label Selingan. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Selingan. Tampilkan semua postingan

04 Desember 2009

eM...eM..dan eM..

Brother..rasanya udah lama aku ga buka, ga nulis, ga nyunting, ga nyontek, ga curhat, ga nge-blog di blog ini. Semua ini berawal dari kejenuhan, rutinitas kerja, waktu yang tersita buat diri, dan buat keluarga. Tapi lepas dari semua itu intinya tetap adalah eM..eM.. da eM..malezz..malesss..malezzz.

Tapi aku tidak menyalahkan si tripel eM ini, kerana satu tanganku lagi invalid, sekarang pun aku menulis ini hanya dengan satu tangan kanan dan dua jari yang utama buat menari di atas kibor PC sobat setiaku yaitu si curuk (=telunjuk) dan si jempol, kadang si jari tengah ikut pula nimbrung.
Semua ini bermula dua bulan lebih ke belakang aku mengalami kejadian tragis, selepas lebaran selagi bawa mesin roda dua sambil nunggu lampu merah jadi ijo di stopan. Tak taunya di belakang aku si mesin roda empat ngebet pengen nyium bokong roda duaku.
Inna lillahi..aku ga inget apa-apa lagi, cuma nyeri yang sangat luar biasa aku rasakan..........my hand was crack and broken..
Akhirnya ya sudahlah...hingga sekarang aku baru berani nulis semua ini. Jadilah eM..eM..dan eM...maaf sobat semua.

Read More..

16 Oktober 2009

Udah Makan Siang..Tiduuur..?

Pernahkan Anda mengeluh, “Setelah makan siang, tubuh rasanya bukan kembali segar tapi malah mengantuk. Kerja pun jadi tidak bersemangat lagi. Apa yang harus saya lakukan untuk mengatasi masalah ini?”.

Keluhan seperti ini tidak saja terjadi pada Anda. Sebagian besar orang juga pernah, bahkan hampir setiap hari, mengalami keluhan seperti ini. Jika masalah ini tidak segera diatasi bisa sangat mengganggu aktifitas dan mempengaruhi produktivitas kerja.

Rasa kantuk yang menyerang setiap habis makan, biasanya merupakan suatu reaksi food coma. Banyak hal yang bisa menyebabkan terjadinya food coma ini. Sebagai gambaran, tubuh kita diibaratkan sebuah mesin pengolah yang berfungsi untuk menyerap sari makanan. Kalau makanan yang kita konsumsi dalam porsi yang cukup besar, otomatis tubuh kita akan bekerja ekstra keras untuk mencernanya. Akibatnya, tubuh akan terasa lelah dan mengantuk.

Dr. Allan Spreen, ahli nutrisi dari Amerika, menganjurkan untuk menyesuaikan waktu makan kita dengan bioritme tubuh. Dari hasil penelitian diketahui bahwa serangan food coma sering terjadi pada jam-jam berikut:

pukul 10.00 yaitu 2 jam setelah sarapan,
pukul 14.00 yaitu 2 jam setelah makan siang,
pukul 16.00 yaitu 4 atau 5 jam sebelum makan malam,

dimana di antara waktu-waktu tersebut, kadar gula darah sedang dalam kondisi menurun.

Bagaimana cara mengatasinya?

Usahakan makan tidak dalam porsi yang besar. Pilihlah makanan dengan kandungan karbohidrat yang cukup.
Pada jam-jam setelah makan, usahakan untuk mengkonsumsi camilan yang high protein. Tidak perlu dalam jumlah yang banyak asalkan perut Anda tetap dalam kondisi terisi.
Pilihlah makanan dengan kadar lemak yang rendah, karena di dalamnya pasti kaya akan kandungan gula.
Di antara waktu sebelum jam makan, jangan segan-segan untuk makan permen. Pilihlah permen berlabel low fat.


Sumber : chem-is-try.org

Read More..

25 September 2009

Teknik Membaca Cepat

Membaca adalah kunci ilmu pengetahuan, dengan membaca maka pengetahuan, informasi dan segala yang tidak ketahui akan terbuka. Nah..gudang dari pengetahuan ini adalah buku. Mudah-mudahan dengan sedikit tips dari Mas Hernowo ini semakin banyak orang Indonesia tertarik membaca buku.

Teknik ini diadopsi Hernowo dari Dr. Georgi Lozanov, psikiater asal Bulgaria yang menggagas konsep Accelerated Learning. Konsep ini menekankan penggunaan musik dalam belajar. Ini adalah usaha menciptakan suasana belajar yang menyenangkan.

Musik membantu menciptakan rasa santai, mengaktifkan otak kanan, dan membantu mengingat jangka panjang. Musik memberikan irama dalam membaca. Kecepatan membaca pun bisa disesuaikan dengan musik yang mengalun. Berikut ini cara membaca cepat yang mengalun itu:

1. Pilih buku yang Anda ingin/perlu baca.
2. Mulailah membaca setiap baris teks di 2-3 kata dari awal baris.
Melewatkan beberapa kata yang tak penting tak akan mengurangi makna.
3. Berhentilah membaca di 2-3 kata akhir baris.
4. Letakkan tangan mendatar di atas halaman buku dan gerakkan maju mundur sepanjang halaman
dengan gerakan menyapu. Gerakkan tangan menuruni halaman dengan kecepatan tetap.
5. Tambah kecepatan tangan.
6. Biarkan mata mengikuti ujung jari tetapi tetap dalam batasan sapuan tadi.
7. Tambah kecepatan hingga hanya 4-5 detik per halaman.

Jika buku yang dibaca tergolong berat dan rumit (seperti buku ajar) maka cara membaca super ala Colin Rose ini dapat dipilih:
1. Ciptakan gambaran keseluruhan (Apa gagasan intinya?)
2. Lihat sekilas bahan-bahannya. Jika menambah pengetahuan Anda teruskan, jika tidak tinggalkan.
3. Buatlah sketsa mengenai hal-hal yang Anda ketahui.
4. Siapkan pertanyaan.
5. Bacalah secara cepat teks yang ada di setiap bab.
6. Tinjaulah kembali apa yang pernah dibaca secara cepat.
7. Buatlah catatan.
8. Ulangi pembacaan.

Catatan ini dinukil dari Buku Cara Cepat nan Bermanfaat untuk Merangsang Munculnya Potensi Membaca, karya Hernowo, diterbitkan: Mizan Learning Centre (2005); http://indonesiabuku.com/?p=1717


Read More..

18 September 2009

Ucapan Selamat Idul Fitri

Bro..sebentar lagi Ramadhan usai dan bakal meninggalkan kita, di depan Idul Fitri 1 Syawal 1430 H telah menyongsong. Nah bila brother mau ngucapin selamat, dari berbagai sumber aku coba tuliskan ulang beberapa ucapan selamat :

Beningkan hati dg dzikir
Cerahkan jiwa dg cinta
Lalui hr dg senyum
Tetapkan langkah dg syukur
Sucikan hati dg permohonan maaf
mEt hArI RaYa IduL fiTrI
TaqobbaLallaHu minNa wA MinKuM
Minal AidziN WaL FaidziN
Mhn MaaF LahiR n BaTiN “;)

Andai jemari tak sempat berjabat, andai raga tak dapat bertatap, seiring bedug yang menggema, seruan takbir yang berkumandang, kuhaturkan salam menyambut hari raya idul fitri, jika ada kata serta khilafku membekas lara, mohon maaf lahir dan batin

Menjelang Lebaran, Sebelum Sinyal Hilang, Sebelum Operator Sibuk, Sebelum SMS pending mulu, Saya mo ngucapin . Met Idul Fitri, Minal Aidzin Wal Faidzin Mohon Maaf Lahir dan Bathin

Tiada gembira yang menggelora, tiada senang yang mengangkasa, selain kita telah kembali pada fitrah dan ampunanNya. Taqaballahu mina wa minkum, selamat Idul Fitri 1430H, minal aidzin wal faizin, mohon maaf lahir dan batin

MTV bilang kalo MO minta maap g ush nunggu lebaran
Org bijak blg kerennya kalo mnt maap duluan
Ust. Jefri blg org cakep mnt maap gk prl disuruh
Kyai blg org jujur Ga perlu malu utk minta maap
Jd krn Mrs anak nongkrong yg jujur, keren cakep Dan baek
Ya gw ngucapin minal aidzin wal faizin , mohon maaf lahir Dan batin ..

Dia Pergi dengan bersahaja. Meninggalkan berkah & penampunan. Meninngalkan jejak pahala. Membawa mimpi surga ! SELAMAT IDUL FITRI, mohon maaf lahir & batin

Bila kata merangkai dusta..
Bila langkah membekas lara…
Bila hati penuh prasangka…
Dan bila Ada langkah yang menoreh luka.
Mohon bukakan pintu maaf…
Selamat Idul Fitri Mohon Maaf Lahir Batin

Fitrah sejati adalah meng-Akbarkan Allah..
Dan Syariat-Nya di alam jiwa..
Di dunia nyata, dalam segala gerak..
Di sepanjang nafas Dan langkah..
Semoga seperti itulah diri Kita di Hari kemenangan ini..
Selamat Idul Fitri Mohon Maaf Lahir Batin

Kata telah terucap, tangan telah tergerak, prasangka telah terungkap,
Tiada kata, Kecuali “saling maaf” jalin ukhuwah & kasih sayang raih
indahnya kemenangan hakiki, Selamat Hari Raya Iedul Fitri

Selamat Hari …… ,
Marilah Kita saling mengasihi n memaafkan…
Ku tau kau telah banyak berbuat salah Dan dosa kepadaku, sering meminjam
duit n Ga ngembaliin, pake motor Ga pernah isi bensin, tapi tak usah
risau… Ku t`lah memaafkanmu. ..

Andai jemari tak smpt berjabat,andai raga tak dpt b’tatap
Seiring beduk yg mgema,sruan takbir yg berkumandang
Kuhaturkan salam menyambut Hari raya idul fitri,jk Ada kata serta khilafku
membekas lara mhn maaf lahir batin.
SELAMAT IDUL FITRI

dan masih baanyak lagi...tar lah disambung lagi...

Read More..

17 September 2009

Selamat Idul Fitri



Temans..rasanya dah lama juga nih tidak update blog, abis susah juga neh ada aja kesibukan. Mau nyempetin nulis ato apa aja pas lagi on line ada aja gangguan, utamanya sih pas main-main di Facebook.
Menurut blognya Mas Mark Zuckerberg, itu tuh si Mas yang nemuin ato tepatnya yang memulai petualangan membuat situs pertemanan Facebook waktu di kamar kos di Mess nya Harvard University lima tahun yang lalu. Katanya per September ini di seluruh penjuru dunia pengguna Facebook udah mencapai 300 jutaan jiwa, weleh weleh.
Ehh...kita balik ke topik, bentar lagi kan Bulan Ramadhan bakalan berakhir dan kita songsong 1 Syawal 1430 H.
Nah pada kesempatan ini aku ingin ngucapin buat semua komunitas blogger Indonesia (katanya pengguna weblog di Indonesia satu jutaan lebih kali eaa), aku ucapin

"Selamat Hari Raya Idul Fitri 1430 H"

Mohon Maaf lahir dan Bathin

semoga amal ibadah kita semua diterima Allah SWT, Amiin.

Read More..

21 Juli 2009

Pangalaman Pamiarsa Masihan Landong

Pada suatu waktu temanku yang bekerja di sebuah rumah sakit di sekitar Bandung Selatan mendapati seorang pasien ibu-ibu yang sudah cukup tua. Ibu ini kelihatan tidak terbiasa berbahasa Indonesia, hanya lancar berbahasa daerah Sunda, dan mungkin pendengarannya juga sudah agak berkurang. Rupanya ibu ini sudah diperiksa oleh dokter dan bermaksud menebus resep di Instalasi Farmasi Rumah Sakit tersebut.
Resep yang diberikan dokter kepada ibu tadi ternyata berupa suppositoria, yaitu bentuk sediaan farmasi yang pemakaiannya dimasukkan melalui anus atau dubur. Petugas apotek kemudian memberikan obat dan memberikan penjelasan kepada ibu tadi.
Petugas Apotek : "Bu, landong ieu dianggo sadinten dua kali, dilebetkan ka dubur" 
Ibu : "sumuhun cep...., nuhun!"
Keesokan harinya teman saya mendapati ibu yang kemarin berobat ada di UGD Rumah Sakit tersebut dan sudah ditangani oleh dokter. Teman saya kaget lalu bertanya kepada dokter jaga di UGD dan kepada ibu tersebut.
Dokter : "Ibu kunaon deui ka rumah sakit, sanes kamari tos kadieu dipasihan landong?"
Ibu :"muhun dokter, landong na ku ema tos di tuang dilebetkeun sareng bubur, tapi jadi raraos kieu gening?"
Dokter : "ibu..landong eta teh kedahna dilebetkeun kanu dubur sanes bubur, dubur teh imbit sanes?"
Ibu : " oh kitu.. tapi saur nu di apotek kitu cenah? ??@^*%&*(%$# (hulang huleng)"
Tampak di belakang dokter dan petugas lain mesam mesem senyam senyum sendiri...
Wow jadi begini toh kalo salah memberi informasi atau kurang jelas dalam memberikan informasi obat kepada pasien.

Read More..

23 April 2009

NGENAH CICING DISAUNG

laku lampah manusa di alam dunya
loba nu ngarasa hate asa disate
boga otak teu dihaja jadi botak
(botak otak beda jeung botak mastaka)

manusia jaman kiwari, ngawiwirang diri sorangan
manusia jaman baheula, ngalalana bareng jeung kamelang
ayeuna loba jalma tapi teu siga manehna
katukang seueur jalmi mangrupakeun oray welang

dunya ayeuna asa geunjleung pinuh kupanyawad
melang jeung kakeueung boga budak awewe lalaki
awewe kusabab mamawa barang, sieun dikumaha 
lalaki kusabab mamawa bola mata, teu puguh tetenjoanana

hariwang urang hariwang kudu puguh panangtungan
salempang urang salempang kudu boga kayakinan

hayu atuh urang ngahaja datang ka nu caang
tong ngamomole maneh pinuh ngalaku goreng
karek ge kamari bangsa urang, inget kartini
ceuk beja, indit ti nu poek datang ka nu caang

mangga atuh urang babarengan
ngahaja sholat tahajud ngadu'a ka pangeran
menta bangbaluh dicageurkan jeung dibageurkeun
mugia getuk karasa keju
cicing di saung karasa ngenah jiga jalma sagala langkung. 

amien ...............

Iwan G.
.::inspiring: Ahamsastra Remendiunpad Jiganugaya -- Potret ::.

Read More..

20 April 2009

Mengendalikan Pasar, Mencari "Guru Negara"

Dari buah pikiran Iwan Gunawan menulis.....

Sebagai bahan kontemplasi dan renungan kita semua....

“Kelangkaan bukan hanya disebabkan alam, tapi juga manusia. 

Dan ilmu ekonomi tidak hanya bersangkut paut dengan alam sekelilingnya, tapi juga dengan selera konsumsi 
manusia dan kesanggupannya berproduksi” 
(Robert. L. Heilbroner; The Making of Economic Society)

Sistem ekonomi pasar yang diagungkan dapat membina rasionalitas, ternyata telah menciptakan bangsa ini semakin dekat dengan apa yang diangankan (desire) namun semakin jauh dari apa yang dibutuhkan (need). Memicu irasionalitas dalam berkonsumsi. Menciptakan gejolak melalui hadirnya benda-benda produk asing yang menawarkan pemuasan keinginan. Membiak melalui sentra-sentra perbelanjaan di desa dan di kota pelosok nusantara . Sementara kebutuhan bahan pokok kini langka di peredaran permintaan rakyat banyak .

Kelaparan tumbuh mengiris hati berdampingan dengan kemewahan yang menjadi . Gambaran ekonomi (anggaran rumah tangga) negara yang sedang timpang (defisit). Negara yang besar pasak daripada tiang. Pasak yang mewah dimiliki segelintir orang dimana tiang sandang, pangan dan papan hanya menjadi impian bagi para pengemis dan gelandangan. Bisakah pasar dikendalikan oleh negara yang menjadi rumah warganya ? Mungkinkah para gelandangan lapar kembali menghuni rumah tinggalnya ? Bisakah pasak-pasak kemewahan menegakkan kembali tiang-tiang rumah mereka yang kini hidup bergerombol di jalanan ? Dan dapatkah irasionalitas dalam pasar digeser oleh rasionalitas negara agar lahir kebijakan obyektif dimana orang banyak bisa hidup sejahtera ? 

Konsumerisme kini tumbuh di dalam kehidupan pasar. Terdorong oleh pemenuhan keinginan yang melampaui dari apa yang dibutuhkan. Pemilikan benda-benda yang diangankan lebih memberikan kepuasan atas pemenuhan barang-barang pokok yang dibutuhkan. Bentuk keinginan berlebihan yang disebabkan tuntutan egoisme menuju realitas ekonomi yang sakit. Mengabaikan pemenuhan kebutuhan wajar dan kolektif bagi tumbuhnya ekonomi yang sehat. Tercetus oleh spontanitas iklan untuk meraih untung menggelembung. Mengorbankan tuntutan permanen atas barang-barang pokok yang dibutuhkan. Bentuk eksploitasi atas angan-angan konsumen yang menimbulkan banyak kefrustasian. Pasar melalui irasionalitas yang dikandungnya telah merusak organ ekonomi bangsa dengan menyumbat kemajuan penyaluran kebutuhan bagi rakyat yang belum sejahtera. 

Sifat pengrusakan dari pemenuhan angan-angan yang demikian telah menciptakan perilaku korup . Menyusutkan rasa optimis untuk maju karena hidup dihadapkan pada kesulitan dalam usaha pemenuhan kebutuhan. Sementara laba berlipat ganda dikantungi kaum asing dengan pesta pora karena penciptaan atas impian yang melenakan. Disaat tak terpenuhinya kebutuhan meski sekedar untuk melangsungkan kehidupan. Inilah gejala dimana manusia tidak berdaya atas pemilikan uang yang menjadi nadi dari kehidupan pasar. Karenanya, hanya melalui upaya pengendalian pemanfaatan uang atas warganya, pasar untuk pemenuhan kebutuhan dapat memberikan kesejahteraan. 

***
Ekonomi nasional yang sehat adalah kondisi terpenuhinya kebutuhan rakyat secara keseluruhan yang disertai dengan terkendalinya dorongan atas pemenuhan keinginan yang berlebihan. Melalui ekonomi yang sehat itulah suatu bangsa dapat melakukan percepatan pertambahan akumulasi modal keuangan demi peningkatan produktifitas. 

Dengan demikian, pertambahan akumulasi modal merupakan bentuk akibat dari semakin tumbuhnya sikap asketis di kalangan warga negara, yaitu sikap berjuang melalui pengendalian diri dari kemalasan dan keinginan di luar kebutuhan. Dan peningkatan produktifitas disebabkan oleh adanya kebijakan pemerintah yang bertanggung jawab (responsible) atas pemenuhan kebutuhan rakyat. Bijak dalam arti selalu memenuhi kebutuhan secara wajar dengan waspada terhadap kemungkinan terjadinya kesengsaraan. Melalui pencapaian itulah rasa tanggungjawab warga negara terbina. Dimana rakyat berupaya untuk selalu menciptakan pertambahan akumulasi modal bagi pemilikan melalui peningkatan produktifitasnya. Dan tanpa adanya tanggung jawab rakyat demikian, tindakan (kebijakan) pemerintah menjadi sia-sia. Disebabkan biaya (anggaran) pemenuhan kebutuhan rakyat bersumber dari roda keuangan rumah tangga dari negara yang dihuninya. 

Tingginya bantuan dan hutang luar negeri merupakan bukti dari lemahnya kerjasama antara pemerintah dan rakyat, sekaligus menunjukan rendahnya kemandirian diantara keduanya . Oleh karena itu, kerjasama dan kemandirian diantara pemerintah dan rakyat harus selalu diupayakan. Kemandirian negara ditegakkan melalui upaya oposisi politik dari rakyat untuk mengontrol kegiatan pemerintah sejalan dengan konstitusi. Dan kerjasama ditumbuhkan melalui sikap patuh atas hukum untuk menjamin terlaksananya tujuan bernegara . 

Upaya oposisi menjadi sumber dinamika perubahan politik bagi lahirnya kebijakan negara kearah yang lebih obyektif , dan sikap untuk mematuhi hukum menjadi sumber perekat antara rakyat dan pemerintah dalam menjalankan tanggungjawabnya. Dengan demikian, kepatuhan terhadap hukum merupakan tiang bagi terjaminnya rasa keadilan di kalangan warga negara, elemen sosial, partai politik, serta kelembagaan negara. Dan oposisi politik menjadi motor penggerak yang memotivasi penciptaan kebijakan inovatif untuk memenuhi tuntutan obyektif kehidupan rakyat. Oleh karena itu, oposisi dalam politik dan kepatuhan terhadap hukum di dalam kehidupan bernegara menjadi kebutuhan paling dasar dalam melahirkan kebijakan yang adil bagi kesejahteraan rakyat. 

Obyektivitas dengan sendirinya harus menjadi sumber dari rasa tanggungjawab dalam penentuan kebijakan bernegara . Dimana pada satu sisi dapat memperkukuh rasa kebangsaan yang berakibat dengan semakin tingginya motivasi rakyat untuk berprestasi. Dan pada sisi lain dapat mengurangi tingkat ketergantungan terhadap dunia luar yang ditandai dengan semakin berkurangnya bantuan dan pinjaman luar negeri.

***
Pemuasan keinginan pribadi tanpa pertimbangan akan terpenuhinya kebutuhan bersama, merupakan perilaku despotik yang menjatuhkan dedikasi. Pemenuhan kebutuhan bersama tanpa keinginan pribadi untuk maju merupakan perilaku subsisten yang menciptakan kesengsaraan berkepanjangan. Dengan demikian, pemenuhan kebutuhan bersama harus menjadi batas kewajaran dari tujuan kemajuan setiap pribadi dalam mendapatkan kepuasan. Dan kepuasan pribadi harus menjadi tujuan dari pemenuhan kebutuhan bersama agar mendorong penciptaan kegiatan produktif. Oleh karena itu, agar terhindar dari perilaku despotik dan subsisten diperlukan sikap asketis dalam hidup warga negara.

Sikap asketis merupakan bentuk pengendalian diri terhadap dorongan wajar atas keinginan untuk maju dalam mendapatkan kebutuhan. Penghindaran terhadap ekonomi subsisten dilakukan melalui asketisme duniawi yakni berjuang melalui kerja keras untuk meraih kemajuan pemilikan material (alat produksi). Dan penghindaran ekonomi despotik dilaksanakan melalui asketisme ukhrowi yaitu menunda kesenangan dengan mengasihi rakyat yang kekurangan untuk membina spirit hidup bersama (pajak/zakat, menabung dan sidqah jaariyah). 

Tanpa sikap asketik roda perputaran ekonomi menjadi stagnan dan mekanik. Bentuk perputaran yang hanya tergerak oleh adanya bantuan dan pinjaman dari bangsa asing. Cermin dari organ-organ negara yang menjadi sumber daya bangsa hanya bertindak demi enaknya sendiri. Karenanya stagnasi dan mekanisasi ekonomi negara merupakan bentuk kehidupan yang diliputi oleh semakin banyak orang termotivasi oleh kepentingan pribadi semata. Pangkal kehancuran yang bersumber dari sikap egois dengan menanggalkan kenyataan hidup bersama . 

Itulah gejala yang kian nyata dari irasionalitas berkonsumsi, merasuk dalam perekonomian bangsa. Padahal, perekonomian bangsa yang dikenal dengan sebutan koperasi telah bertahun-tahun diperjuangkan dengan bersandar pada organ-organ kerakyatan. Namun kini sokoguru ekonomi bangsa ini hidupnya masih bagai Umar Bakrie. Membina kepentingan bersama tapi tersisihkan nasibnya oleh kebijakan yang tidak adil, pengalaman yang harus menjadi pelajaran . Bukti dimana dalam perjuangannya lebih banyak orang yang masih mengedepankan kepentingan pribadi daripada kebersamaan. Bekerjasama dengan pemerintah (melalui menteri KUKM, dll), namun mengingkari adanya tuntutan akan perubahan kebijakan dari oposisi rakyat yang membutuhkan keadilan. 

Nampaknya, kita harus segera menghadirkan “Guru Negara” setelah para “Guru Bangsa” semakin udzur. Guru yang membimbing untuk hidup tekun, rajin, hemat, kerja keras, jujur dan mengasihi sesama. Serta membimbing untuk menjadi manusia unggul dalam hidup berkompetisi. Seorang pembina yang disegani dalam memajukan kemandirian dan teladan yang dipatuhi dalam hidup bekerjasama. Pro-aktif dalam memperkuat kemandirian dan memperat kerjasama. Dengan usaha yang senantiasa berpijak pada tuntutan yang rasional dan kebutuhan obyektif demi mendapat surplus ekonomi. 

Zaman telah berganti dari kebutuhan membangun rasa persatuan berbangsa menjadi tuntutan untuk memajukan hidup warga negara. Ruh kebangsaan kini menuntut raganya agar menjelma bukan hanya menjadi bangsa yang merdeka tapi juga negara yang sejahtera. Demikiankah maksud dari pengorbanan para pahlawan dan pendirian Bapak Bangsa berjuang melawan penjajahan merebut kemerdekaan ? Aset yang diwariskan untuk menegakan kehormatan rakyat melalui upaya peningkatan derajat kesejahteraan yang bermartabat. 

***
(Matraman Jakarta, 9 Nopember 2007)

Read More..

06 April 2009

CERAMAH PRESIDEN SBY DI LSE

 SPEECH BY
 H.E. DR. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO
 PRESIDENT OF THE REPUBLIC OF INDONESIA
 
 "INDONESIA : REGIONAL ROLE, GLOBAL REACH"
 
 at the
 LONDON SCHOOL OF ECONOMICS AND POLITICAL SCIENCE (LSE)
 
 
 London, 31 March 2009
 
 Your Excellency Sir Howard Davies, Director of the LSE,
 Excellencies, Ministers, Members of Parliament, Ambassadors,
 Distinguished Members of the Faculty,
 Students of this Great Institution of Learning,
 Ladies and Gentlemen,
 
 It is a great pleasure and honour for me to be here. I thank the
 London School of Economics and Political Science for inviting me here
 today to talk about Indonesia and our worldview.
 The reputation of LSE, widely known as one of the world's best
 Universities, is well known in Indonesia. I am delighted that many
 Indonesians have studied here, and some have even come to work for me.
 (Joke : You may take it as a good sign that LSE graduates do get jobs
 once they leave campus.) My Minister for Defence obtained his
 Doctorate Degree here, and so did my spokesperson, Dr. Dino Patti
 Djalal - both under the supervision of the late Dr. Michael Leifer,
 one of the best experts on Southeast Asian Affairs ever produced by
 Great Britain.
 I also wish to commend the LSE which through IDEAS Centre for
 International Affairs, Diplomacy and Grand Strategy has just set up
 the Southeast Asia International Affairs Programme headed by Dr. Munir
 Majid.
 I am glad to see here today so many young faces glowing with optimism.
 So let me begin by telling you a story about optimism. This is a
 true story reported in the mass media. During one of the sessions at
 the latest World Economic Forum in Davos, the panelists noted that all
 the talk about the global economy was consistently pessimistic. All
 gloom and doom. And no silver lining.
 Then one asked the question: "Isn't there one optimist in this room at all?"
 And another answered: "Yes, if we can find an Indonesian. Is there an
 Indonesian with us here?"
 I like this anecdote because, frankly, optimism is what has made
 Indonesia what we are today. The story of Indonesia has not always
 been an easy one, but it is a remarkable one. An epic story of
 survival against the odds.
 Just a few years ago, Indonesia made headlines around the world -
 including here in the BBC, the Daily Telegraph, The Guardian - for all
 the troubles that beset us: economic crisis, East Timor, Aceh, ethnic
 conflicts, terrorism, political crises. Back then, it seemed nothing
 could go right with Indonesia.
 Some circles predicted that, after East Timor broke away from us,
 Indonesia would fall into "Balkanization" . It would shatter into bits
 and pieces. Others thought that Indonesia would crumble under the
 weight of a disorderly democratic transition.
 And why not? Between 1998 and 2004, we had four
 Presidents - Soeharto, Habibie, Abdurrachman Wahid and Megawati
 Soekarnoputri - an average of one President every 1,5 year. Thomas
 Friedman called Indonesia a "messy state.. too large to fail, too
 messy to work". But former US Secretary of State Colin Powell was
 perceptive enough to cite Indonesia as "the most misunderstood country
 in the world" and I think he was right.
 But that picture of disorder and uncertainty no longer represents us
 today. After all our trials and tribulations, Indonesia today has
 become a remarkably resilient country.
 In a world wrecked by a devastating financial tsunami, Indonesia last
 year registered 6 % growth - among the three highest in Asia. This
 year we expect a slower but still respectable 4,5 % growth.
 In a world that is still festering with ethnic conflicts, Indonesia
 has become more united by resolving the conflicts in Aceh, and
 promoting political and social reforms in Papua.
 Today, Indonesia is the third largest democracy in the world - after
 India and the United States. We are Southeast Asia's largest and
 arguably strongest democracy.
 And not just a democracy by name - we are a vibrant democracy, with a
 free press, a multi-party system and regular elections. We are a
 functioning democracy that has maintained our brand of moderation and
 tolerance.
 And we have been able to achieve that rare thing among countries
 undergoing transition : that is, to marry democracy with stability.
 When my current term ends in October this year, insya allah, my
 Government will be the first since reformasi began to complete a full
 5-year term. Perhaps this is why The Economist stated that "Indonesia
 sets an example" in our democratic development.
 Indeed, Indonesia in recent years has undergone a "quiet revolution" :
 by the end of this year, every Governor, regent, mayor, local
 Parliament throughout Indonesia will have been directly elected by the
 people. This has not only dramatically changed the political
 landscape, it has also turned the political pyramid upside down. And
 all this is happening in an orderly manner, without chaos and
 bloodshed.
 This month, we will hold Parliamentary elections, and Presidential
 elections in July. What is pertinent with this year's elections is NOT
 who will win, but what it means historically for us : after 3
 elections - in 1999, 2004, and 2009 - Indonesia's democracy has
 achieved a point of no return. Indonesians not only accept democracy
 as a fact of life, but also embrace it passionately and are willing to
 defend it when it is under threat.
 Indeed, Indonesia is now widely regarded as a living proof that
 democracy, Islam and modernity can go hand-in-hand harmoniously.
 Our reputation for tolerance and harmony is not something that
 happened just now. We have been working hard at it since time
 immemorial, in the process developing and nurturing a tradition of
 consultation toward consensus, "Musyawarah untuk Mufakat." The
 majority does not impose its will on the minority. There is a thorough
 process of consultation before consensus is reached, a process in
 which all views are expressed and all interests are taken into
 account-including those of minorities. That is how we achieve harmony
 in an immensely pluralistic society.
 And because throughout our history, the cultures of three Oriental,
 Islamic and Western civilizations have found a home in Indonesia, we
 have been given a new role. We have come to be regarded as the
 natural bridge between the Western world on one hand and the Islamic
 and Oriental worlds on the other. And "bridges" - strategic bridges,
 generational bridges, technological bridges, cultural bridges,
 economic bridges, religious bridges - are what the 21st century world
 order will need plenty of.
 This is why Indonesia has been organizing and sponsoring interfaith,
 intercultural and inter-media dialogues, not only among our national
 communities but also among nations in the Asia-Pacific region. We have
 also been co-sponsoring similar dialogues on an interregional and
 global basis.
 In fact, I have vigorously pursued what I call an "all directions
 foreign policy", a post-Cold War 21st century foreign policy outlook
 where Indonesia seeks a "million friends and zero enemy".
 That is because we know that our international engagement is the key
 to our success, to our security, and to our prosperity. Our economy
 cannot survive while the global economy collapses. We cannot have a
 destiny that is separate from that of our immediate neighborhood,
 Southeast Asia, and our region, East Asia.
 Indeed, it is NOT ONLY Indonesia that is rapidly changing. Southeast
 Asia is also a very different place today. It has experienced
 fundamental geopolitical and geo-economic shifts. It is no longer the
 war-torn region of yesteryear.
 Once divided by Cold War politics, Southeast Asia has become the ASEAN
 region. With the ASEAN Free Trade Agreement already in force, we have
 become the ASEAN Economic Community. The ten economies of ASEAN have
 become a single market for goods and services and a single production
 base.
 Several decades ago, Southeast Asia was a cockpit for Cold War
 strategic rivalry and inter-state as well as internal wars. Today, no
 external major powers is involved against another in a proxy war in
 our region, and no ASEAN member is at war against another. While
 internal conflicts still exist in some parts, these are so low in
 intensity that do not affect the overall stability of the region.
 And today, many external powers have signed on to the ASEAN Treaty of
 Amity and Cooperation - contributing to our region's strategic
 stability : Australia, China, Japan, India, Russia, South Korea and so
 on. With this Treaty, signatories and acceding states renounce the
 use of force and bind themselves to the peaceful settlement of
 disputes. We hope that the United States will accede to the Treaty
 soon, and there are signs that it just might happen.
 A key part of the region's transformation is ASEAN's effort to become
 an ASEAN Community by 2015. The envisioned ASEAN Community would rest
 on three pillars: the ASEAN Politico-security Community, the ASEAN
 Economic Community and the ASEAN Socio-cultural Community.
 To boost the effort to build these three pillars and ultimately the
 ASEAN Community itself, the member states formulated and adopted an
 ASEAN Charter, designed to retool and adapt ASEAN for 21st century
 challenges. Last December, the Charter, which gives ASEAN a legal
 personality and greatly strengthens it, entered into force.
 Indonesia worked hard to ensure that, through the Charter, ASEAN gets
 its politics right. And to ensure that its members are committed to
 democracy and democratization, and to the promotion and protection of
 human rights. In our time, we in ASEAN can no longer afford to be
 allergic to democracy and human rights.
 Thus, Indonesia pushed for a provision stipulating the creation of a
 Regional Human Rights body. Hence, by virtue of the Charter, all ASEAN
 members are committed to the values of democracy and human
 rights-including Myanmar.
 Now Myanmar is legally bound by the Charter to make substantive
 progress in the implementation of its own Roadmap to Democracy, and to
 attain national reconciliation. It is legally bound by the Charter to
 make sure that the elections it will hold next year are free and
 democratic.
 I notice that in the West, discussions on Myanmar tend to focus on the
 "democracy" aspect. This is of course important. But there is another
 aspect which do not get enough attention: Myanmar's struggle to
 maintain its national unity and territorial integrity. We simply
 cannot allow Myanmar to break apart, because that will lead to a
 bloodbath and a humanitarian disaster that would undermine regional
 order and stability.
 In my engagement with Myanmar's leaders, I have always stressed in no
 uncertain terms Indonesia's full support for Myanmar's national unity.
 And I do believe that Indonesia's historical experience, having gone
 through difficult periods of transition from authoritarian Government
 to democracy as well as ethnic conflicts, is relevant to the solution
 of the problem of Myanmar.
 We must therefore help ensure that at the end of the day Myanmar will
 emerge as a democratic and united country.
 I also believe that any attempt to isolate Myanmar will be
 counter-productive. Myanmar is entering a critical phase in the
 run-up to elections next year, the final stages of its own seven-step
 Roadmap to democracy. The challenge here is for Myanmar to show that
 there is a credible and inclusive process of democratic transition at
 work. This is therefore the time for greater - not less - engagement,
 especially by Myanmar's neighbors. I know this is also what the UN
 Secretary-General and his Personal Representative Professor Ibrahim
 Gambari are trying to do.
 Excellencies, Ladies and Gentlemen,
 While ASEAN looks after its own members, like Myanmar, it is also an
 outward-looking regional organization. Thus, ASEAN leads the shaping
 of a new architecture of the East Asia region. This can be seen from
 the processes of ASEAN Plus Three, which groups ASEAN with China,
 Japan and South Korea, and the East Asia Summit, which groups the
 ASEAN Plus Three countries with India, Australia and New Zealand.
 In 1997, ASEAN Plus Three (APT) was established to address the Asian
 financial crisis. The ASEAN Plus Three Process gained such momentum
 that in 2004, ASEAN launched the idea of an East Asia Summit. To some,
 the East Asia Summit should comprise the ASEAN Plus Three countries.
 But Indonesia pushed for a more inclusive idea of East Asia, one that
 embraced India, Australia and New Zealand.
 Thus, ASEAN redefined the notion of East Asia so that it is no longer
 just a geographical, racial or cultural entity-but an entity formed
 over many years of habitual and intensive consultation and cooperation
 between ASEAN and its dialogue partners.
 Like Indonesia itself with its immense diversity of ethnic cultures,
 East Asia is made of countries that are widely varied, but are bound
 together and made one by a commonality of purpose and values.
 With this concept of a more inclusive East Asia, ASEAN remains at the
 centre not only geographically but also in terms of occupying the
 driver's seat in this important process.
 This is important because East Asia will continue to experience, in
 the short medium and long-terms, changing dynamics of power
 relationships. While power relationships remain fluid, it is
 important that a new equilibrium be reached, one that would provide
 mutual accommodation between the major powers, but in the form of a
 win-win relationship that would not be at the expense of medium and
 smaller powers.
 And thus one day when East Asia is better crafted and more firmly
 institutionalized, the United States, Russia and the European Union
 could join the East Asia process as observers.
 This is not to say that East Asia will become the Oriental clone of
 the European Union. Historically, culturally and even economically,
 the EU nations are so much more similar to one another than us in East
 Asia. At present we in East Asia are too diverse to place ourselves
 under a supra-government or to form a superbureaucracy. But we can
 integrate in real, dynamic and effective ways.
 For instance, ASEAN has completed-or is nearly completing-a process of
 negotiating free trade area agreements with six dialogue partners,
 which can lead to the establishment of an East Asia free trade area by
 2012 or 2015 at the latest. Here, we are talking about a group
 involving an aggregate population of 3.6 billion, and of combined
 powerhouses in Asia.
 In a way, this will repeat the process within ASEAN soon after its
 founding in Bangkok, which makes use of economic cooperation as the
 driving force of its integration. Thus the new East Asia will be
 consolidated first through a process of economic integration before it
 goes all-out for political cooperation.
 Nevertheless, we have made an early effort at political cooperation.
 Last December, Indonesia organized the Bali Democracy Forum, the first
 inter-governmental forum in Asia about democracy. At non-governmental
 levels, the region has had countless discussions on democracy. But
 this was the first time that a home-grown, Asia-wide dialogue among
 government officials took place about democracy.
 Indonesia will sustain and support the Forum through an Institute of
 Peace and Democracy. Friends in the international community have
 indicated that they will help us in this effort.
 
 
 Excellencies, Ladies and Gentlemen,
 I have presented to you Indonesia's vision of the regional
 architecture of East Asia. It is a regional architecture that will
 strive for balance-balance among the component powers of that
 architecture and balance between economic development and political
 development.
 I realize well enough, however, that it is not enough to have a
 regional vision. We must also have a global vision, most especially at
 a time when the whole world, without exception, is reeling from the
 impact of a global economic and financial crisis.
 That is why Indonesia is deeply involved in the work of the G-20,
 which is humankind's best hope for the solution-or the beginning of a
 solution-to the crisis that has engulfed us all. And that is why I am
 here in London today-to attend the G-20 Summit after visiting this
 nice institution.
 The G-20 was created in 1999 after the 1998 Asian Financial Crisis as
 a forum of finance ministers and central bank governors.. Given the
 severity of the global financial crisis that broke out in the second
 half of last year, the G20 has been elevated to the Leaders level with
 the first summit in Washington last November. Today, we are having
 our second meeting in London and we hope there will be a meeting later
 in the year in Asia.
 The G20 Summit has become de facto the world economy steering
 committee because it represents the major economies in the world,
 accounting for 80 percent of GDP and 90 percent of world trade.
 Developed and developing countries, and geographical regions are
 represented in this forum.
 In facing this very serious challenge of overcoming the worst global
 recession in 60 years, the G20 Summit is crucial to the building of
 global confidence and global togetherness to get us out of this
 complex financial collapse, which has had a devastating impact on the
 world economy.
 Much has been done and achieved since the last meeting. We have all
 undertaken countercyclical measures and the Ministers of Finance,
 Central Bank Governors and their officials have worked on an agenda of
 reform of the financial architecture and international financial
 institutions.
 However, more needs to be done. Let me share with you a few points
 that I will bring up at the G20 Summit.
 First, we urge the US and other developed countries to give priority
 to the cleaning up of the toxic assets in the financial system.
 Otherwise it would be difficult to get financial flows going.
 Second, since the Washington G20 Summit, Indonesia has sent a very
 strong message that in resolving this crisis we must not forget the
 developing and emerging countries that have limited resources to
 prevent the drying up of liquidity, investment and capital on their
 economies.
 These developing and emerging countries, have worked hard at building
 up their economies, institutions and governance structures.. They have
 undertaken difficult reforms - and achieved remarkable progress toward
 development goals such as poverty reduction. They must not be
 punished. They must not be left to suffer unmanageable increases in
 poverty.
 There must be a global expenditure fund to serve as buffer and to
 provide these countries with needed financing so that their budgets
 can sustain development goals. There has been progress on this idea
 and we hope that there will be an announcement regarding the
 availability of this fund at this meeting.
 Third, there must be financial architecture reforms and disciplines
 that will prevent another financial bubble from creating such
 unprecedented havoc, not only in the countries where the bubble
 originated --- but also in the rest of the world.
 Fourth the multilateral agencies-the IMF, the World Bank and others--
 must rise to the challenge of this unprecedented world economic
 crisis. This means greater resources, flexibility in utilizing these
 resources and the reform and improvement of the governance of these
 institutions. This will entail a better system of representation at
 these institutions to reflect the changing geo-economics of the world.
 Finally, I also believe that the world economy will not recover
 without the recovery of the real economy. Therefore, we must ensure
 that there will be no increased restrictions that will hamper the
 flows of trade, investment, capital and even people. The surest way
 to prevent protectionism is to ensure that the major economies,
 (especially the US and India) return to the WTO Doha Round
 negotiations as soon as possible.
 The process of recovery, the rebuilding of the financial architecture
 and the reform of multilateral institutions will take time. Over time
 it is likely that the G20 Summit will evolve into a regular summit and
 will be very focused on steering the world economy toward changes that
 will get us back to global stability.
 Indonesia will therefore continue to be deeply involved in the
 processes of the G20 to ensure that the interests of developing
 nations, especially Asian countries, are taken into account. At the
 same time I can also assure you that in the face of this crisis, for
 Indonesia protectionism is not our choice. That is a firm political
 commitment.
 One other message that I will try to put across is this:
 Man does not live by bread alone. He must also have his freedom and
 his ethics. By the same token, nations do not survive by the operation
 of the market alone. They must also get their governance and their
 politics right.
 That is the lesson that the United States learned in the months
 leading to its latest presidential elections. That is the bitter
 lesson that Indonesia learned in the midst of the Asian Crisis eleven
 years ago. That is the insight behind the ASEAN Charter.
 And that is the insight that will save us all from this global
 financial and economic crisis, if we accept it and act accordingly.
 To conclude, no less than the future of humankind is at stake in the
 work that we in the G20 are about to do here in London. Indonesia will
 do its part in this great undertaking aimed at overcoming the crisis.
 I hope that our partners in the G20, the developed economies as well
 as the emerging economies, will also do theirs.
 I thank you.
 
 
 
 [Non-text portions of this message have been removed]

Read More..

Selingan: and then the fight started

************ ********* ********* ********* *********

********* ********* ******

*****
My wife sat down on the couch next to me as I was flipping channels. 

She asked, 'What's on TV?' 

I said, 'Dust.' 

And then the fight started... 

************ ********* ********* ********* ********* ********* ********* ******
************ * 

When I got home last night, my wife demanded that I take her someplace
expensive... 

So, I took her to a gas station.. 

And then the fight started... 

************ ********* ********* ********* ********* ********* ********* ******
************ * 

My wife and I were sitting at a table at her high school reunion, and my
wife
kept staring at a drunken man swigging his drink as he sat alone at a
nearby table. 

I asked my wife, 'Do you know him?' 

'Yes,' She sighed, 'He's my old boyfriend.
I understand he took to drinking right after we split up those many
years
ago, and I hear he hasn't been sober since.' 

'My God!' I said to my wife, 'who would think a person could go on
celebrating that long?' 

And then the fight started... 

************ ********* ********* ********* ********* ********* ********* ******
************ * 

I took my wife to a restaurant. The waiter, for some reason, took my
order first. 

"I'll have the strip steak, medium rare, please." 

He said, "Aren't you worried about the mad cow?" 

"Naaah, she can order for herself." 

And then the fight started... 

************ ********* ********* ********* ********* ********* ********* ******
************ *
A woman is standing & looking in the bedroom mirror.
She is not happy with what she sees and says to her husband,
'I feel horrible; I look old, fat and ugly. I really need you to pay
me a compliment.' 

The husband replies, 'Your eyesight's damn near perfect.' 

And then the fight started..... . 

************ ********* ********* ********* ********* ********* ********* ******
************ * 

I tried to talk my wife into buying a case of Miller Light for $14.95. 

Instead, she bought a jar of cold cream for $7.95. 

I told her the beer would make her look better at night than the cold
cream. 

And then the fight started.... 

************ ********* ********* ********* ********* ********* ********* ******
************ *
When our lawn mower broke and wouldn't run, my wife kept hinting to me
that I should get it fixed..
But, somehow I always had something else to take care of first:
the truck, the car, e-mail, fishing, always something more important to
me. 

Finally she thought of a clever way to make her point. 

When I arrived home one day, I found her seated in the tall grass,
busily snipping away with a tiny pair of sewing scissors.
I watched silently for a short time and then went into the house.
I was gone only a few minutes. When I came out again I handed her a
toothbrush.
'When you finish cutting the grass,' I said, 'you might as well sweep
the driveway.' 

And then the fight started... 

************ ********* ********* ********* ********* ********* ********* ******
************ * 

I asked my wife, "Where do you want to go for our anniversary?" 

It warmed my heart to see her face melt in sweet appreciation.
"Somewhere I haven't been in a long time!" she said. 

So I suggested, "How about the kitchen?" 

And that's when the fight started.... 


************ ********* ********* ********* ********* ********* ********* ******

************

by**B.P.**

Read More..

Sebelum keluar kasih komentar dulu ya...

Powered By Blogger

Nyari Komisi Gretongan Disini Nih

Primary Education Blogs - BlogCatalog Blog Directory Add to Technorati Favorites
widgets Share/Save/Bookmark online counter

  © Blogger templates 'Neuronic' by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP